Antara Kecerdasan, Kemakmuran dan Prioritas Pembangunan…
Posted by Unknown
Oleh Muhaimin Iqbal
Senin, 12 September 2011 09:04
Pada bulan November 2009, sebuah media online di Eropa – The European Union Times – mempublikasikan hasil riset tentang kecerdasan rata-rata negara-negara di dunia. Berdasarkan publikasi ini rata-rata IQ tertinggi dunia di miliki warga Hongkong dan Singapore dengan tingkat IQ rata-rata pada tahun 2006 adalah 108. Kita yang berada di Indonesia berada jauh sekali dibawahnya yaitu pada angka 87 dan dengan trend menurun, karena 4 tahun sebelumnya rata-rata orang Indonesia masih ber-IQ di angka 89. Tergelitik oleh publikasi ini, sebagai warga negara yang baik – saya ingin tahu penyebabnya dan syukur-syukur bisa memberi (usulan) solusi kedepannya.
Saya bukan ahli gizi atau ahli masalah-masalah kependudukan, saya hanya terbiasa mencerna angka (crunching numbers) dari berbagai latar belakang pekerjaan saya sebelumnya. Sehingga untuk mencari jawaban atas ke-ingin tahuan tersebut diatas – saya juga cari dari angka-angka. Maka data yang disajikan oleh EU Times tersebut saya sandingkan dengan data-nya FAO dan data-nya IMF.
Data FAO yang saya ambil adalah konsumsi daging per kapita per tahun, sedangan datanya IMF yang saya ambil adalah data GDP per capita. Hasilnya saya sandingkan dalam tabulasi dibawah untuk kita dan negara-negara tetangga kita.
IQ, Meat Consumption & GDP
Dengan melihat table diatas – meskipun tidak harus terlalu scientific – kita dengan mudah bisa memahami bahwa kecerdasan nampaknya terkait langsung dengan konsumi – khususnya konsumsi daging. Negara-negara tetangga yang IQ rata-ratanya diatas kita, secara keseluruhannya mengkonsumsi daging rata-rata yang jauh diatas kita. Konsumsi daging rupanya tidak hanya berpengaruh pada tinggi rata-rata anak-anak negeri ini, tetapi juga berpengaruh langsung pada kecerdasannya.
Dari table diatas kita juga bisa pahami bahwa konsumsi daging nampaknya terkait langsung dengan pendapatan per capita. Semakin tinggi pendapatan rata-rata suatu negeri, semakin tinggi pula konsumsi dagingnya. Hanya ada satu pengecualian dari tujuh negara yang saya jadikan contoh tersebut diatas yaitu Vietnam, mereka berpenghasilan kurang dari separuh rata-rata rakyat kita – tetapi kok jauh lebih cerdas dari kita ?, ya karena rata-rata mereka mengkonsumsi daging yang jauh lebih banyak dari kita.
Kok bisa negeri lebih miskin tetapi mampu mengkonsumsi daging lebih banyak ?. Ada dua kemungkinan untuk ini yaitu pertama masalah prioritas pada menu makanan, sehingga meskipun miskin mereka mementingkan untuk makan daging, ikan dan sejenisnya. Kedua adalah masalah distribusi pendapatan, Indonesia yang lebih dulu meniru kapitalisme barat dalam system ekonominya – membuat GDP per capita-nya lebih bias oleh pareto statistik. Tentu tidak masalah bagi 20% penduduk Indonesia untuk mengkonsumsi daging secara sangat cukup, tetapi bagi rata-rata 80% sisanya akan sangat berat untuk dapat sekedar memenuhi kebutuhan daging seperti rata-rata penduduk dunia yang berada pada kisaran 46.6 kg per capita.
Lantas bagaimana solusinya agar kita tidak meninggalkan generasi yang semakin lemah kedepan ?.
Pertama idealnya negeri ini harus bisa meningkatkan kemakmuran yang significant kedepan, sehingga daya beli masyarakat untuk kebutuhan esensial seperti konsumsi daging tersebut diatas dapat terpenuhi.
Kedua bila mengangkat ekonomi keseluruhan terlampau berat, maka prioritas pembangunan harus diperuntukkan bagi penyiapan generasi kedepan yang lebih kuat, lebih sehat dan lebih cerdas. Yang bisa dilakukan misalnya adalah mengurangi subsidi bahan bakar dan menggantinya dengan subsidi harga daging secara nasional. Kalau nggak bisa menyeluruh minimal khusus untuk keluarga-keluarga muda yang memilik anak-anak di usia pertumbuhan.
Ketiga adalah langkah yang lebih strategis jangka panjang. Pemerintah harus mendorong majunya industry peternakan dan perikanan, lengkap dengan industry penunjangnya – seperti industry pakan ternak, industry pertanian untuk rumput-rumput bergizi tinggi sebagai pakan ternak dlsb.
Saya membayangkan kita memiliki pemerintahan yang bervisi jauh kedepan , pemerintahan yang berani merancang KPI (Key Performace Indicators) yang terukur, misalnya sampai akhir periode jabatan 5 tahun mendatang GDP per kapita akan … Rupiah, Konsumsi Daging rata-rata… kg, kecerdasan anak-anak rata-rata akan… dst. Kemudian data-data yang menjadi KPI ini di survey dan diukur oleh lembaga independent di awal dan di akhir masa jabatan. Pemerintahan periode selanjutnya juga harus melanjutkan program KPI ini, awalnya seperti apa – dan pada akhir masa pemerintahannya harus seperti apa – begitu seterusnya.
Nampaknya sederhana, hanya masalah kecerdasan – tetapi saya melihatnya justru disinilah persaingan kekuatan dunia di masa yang akan datang. Kita harus bisa menyiapkan anak keturunan kita yang lebih cerdas kedepan agar mereka bisa memimpin dunia, bukan sebaliknya semakin kurang cerdas dan semakin terjajah. Insyaallah kita bisa !.